Harga Bahan Bakar Gas dibandingkan Premium

Bahan bakar gas adalah semua jenis bahan bakar yang berbentuk gas, biasanya bahan bakar gas ini termasuk golongan bahan bakar fosil.

Lembaga kajian energi ReforMiner Institute menyarankan pemerintah mengalihkan penggunaan bahan bakar minyak bagi kendaraan ke gas (BBG). Konversi bahan bakar ini akan menghemat subsidi bahan bakar.

Hitung-hitungan ReforMiner dalam laporan kajian edisi Juni, seperti yang diperolah VIVAnews.com, bila dalam satu tahun konsumsi Premium bersubsidi 23,19 juta KL dengan harga keekonomian Premium Rp6.500 per liter, maka pemerintah membutuhkan biaya Rp150,73 triliun.

Sementara, bila menggunakan bahan bakar gas pengganti Premium, pemerintah hanya membutuhkan Rp83,48 triliun dengan asumsi harga gas Rp3.600 per liter setara Premium (LSP). "Nilai penghematan bisa mencapai Rp67,25 triliun per tahun," tulis laporan itu.

Bahkan bila menggunakan asumsi harga BBG tanpa pajak, Rp2.652 per LSP, pemerintah bisa menghemat lebih banyak lagi, Rp91,32 triliun. Ini karena biaya pembuatannya hanya Rp59,41 triliun.

Demikian juga dengan solar, bila dikonversi, pemerintah bisa menghemat Rp51,51 triliun (BBG tanpa pajak) dan Rp37,94 triliun (BBG berpajak). Ini dengan menggunakan asumsi volume konsumsi solar bersubsidi 13,08 juta KL, harga keekonomian solar Rp6.500 per liter, biaya pengadaan solar Rp85,02 triliun, dan biaya pembuatan BBG Rp33,51 triliun (tak berpajak) dan Rp47,08 triliun (dengan pajak).

Mengapa ongkos produksi BBG lebih murah? ReforMiner menyatakan, pengembangan BBG di Indonesia akan lebih efisien dibandingkan dengan pembuatan bahan bakar minyak yang saat ini masih banyak diimpor. Indonesia banyak diuntungkan oleh banyaknya cadangan gas, sehingga biaya penyediaan BBG jauh lebih murah dibandingkan dengan BBM. Selain itu, yang lebih penting adalah isu energi ramah lingkungan.

Dengan biaya pengembangan yang relatif murah, ReforMiner yakin, harga jual BBG lebih murah dari Premium.

Sebelumnya, pengamat energi yang juga Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies, Dr Kurtubi, mengatakan jika ingin menurunkan beban subsidi bahan bakar, pemerintah seharusnya belajar dari kebijakan sebelumnya saat menerapkan konversi energi. Menurut Kurtubi, sebelum konversi elpiji dilakukan pada 2007, subsidi minyak tanah merupakan yang terbesar dibandingkan dengan premium maupun solar. Kenyataannya, melalui konversi, konsumsi minyak tanah anjlok, dan dengan sendirinya subsidi juga berkurang drastis.

Pemerintah sebenarnya bisa melakukan konversi premium dan solar dengan BBG. Sebab, penggunaan BBG sudah teruji pada Bus Transjakarta, Bajaj, dan sejumlah taksi. "Bajaj saja bisa, masa mobil pribadi tidak bisa?" katanya, beberapa waktu lalu.

Menurut Kurtubi, biaya konversi BBG tidak seberapa bila dibadingkan dengan subsidi BBM yang harus dikeluarkan pemerintah tiap tahun.

Tahap awal, pemerintah bisa mewajibkan seluruh mobil pelat merah dan angkutan umum di Jakarta dan sekitarnya untuk beralih pada BBG. Caranya, pemerintah mempercepat pembangunan tangki apung LNG (LNG receiving terminal) di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Setelah selesai, pemerintah memasang pipa dari Tanjung Priok ke pool taksi, bus, dan Bajaj. "Pembangunan pipa gas biayanya tidak jauh beda dengan pipa air," katanya.

Selain membangun pipa, pemerintah juga harus memberikan alat pengkonversi BBG yang dipasang pada tiap kendaraan. "Ini harganya sekitar Rp4 juta per kendaraan," katanya. "Ini mirip pemberian kompor dan tabung elpiji ke masyarakat."

Setelah kendaraan pelat merah dan pelat kuning, pemerintah tinggal mewajibkan kendaraan pelat hitam. Sambil menunggu mewajibkan kendaraan pribadi, pemerintah bisa memfasilitasi pembangunan stasiun pengisian BBG. "Setiap SPBU yang masih memiliki tanah kosong wajib membangun SPBBG," katanya.

"Bila sudah berjalan, konsumsi premium dan solar akan jauh menurun, seperti konsumsi minyak tanah. Subsidi pun akan jauh berkurang." (eh)
• VIVAnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar